Senin, 16 Januari 2012

Waspada Teror UN

UJIAN Nasional (UN) telah di ambang mata. Ia hadir saban tahun sekali guna mengukur kemampuan siswa di tiap-tiap level. Pada 16-19 April 2012 UN tingkat SMA/SMK/MA akan digelar, berikutnya pada 23-26 April 2012 UN tingkat SMP/MTs akan digelar. Di balik pelaksanaannya itu, sejatinya tersimpan tanda tanya besar. Layakkah UN dijadikan sebagai alat evaluasi di tengah disparitas pendidikan di tanah air yang kian menganga?
Para pengamat pendidikan menilai, UN layak ditinjau ulang. Alasannya, karena pelaksanaan UN adalah kebijakan yang ambisius. Sebab, kondisi sekolah antarwilayah di Indonesia jauh berbeda. Jangankan antarwilayah, antarkecamatan di satu kabupaten saja bisa jadi memiliki perbedaan dalam hal sarana/prasarana dan mutu guru.
Pemerintah selalu menyatakan bahwa UN digelar demi peningkatan kualitas pendidikan di daerah yang bersangkutan. Namun, begitu hasil UN diumumkan, tak ada lagi komitmen dalam meningkatkan kualitas pendidikan di daerah. Jadi, UN hanyalah kebijakan all size yang sejatinya bersifat masal, dan justru membawa suasana teror bagi siswa, guru, dan orang tua siswa. Terlebih, bila ditengarai adanya aksi-aksi kecurangan dari oknum siswa dan guru. 
Mengutip Wahid (2008), adalah tidak mungkin bila pemerintah mengharapkan hasil seragam dari sesuatu yang bersifat majemuk. Apa pasal? Sebab, kondisi sarana dan prasarana sekolah, serta mutu guru berbeda-beda. Selain itu, hadirnya UN justru merepotkan siswa dan terutama guru—pihak yang bertanggung jawab atas kelulusan siswanya. Dengan demikian, wajar jika banyak pihak menuntut agar UN ditinjau ulang dengan alasan berikut.
Pertama, UN merupakan produk kebijakan yang bersifat super-kuantitatif. Artinya, pemerintah hanya berorientasi pada angka kelulusan saja. Buktinya, pemerintah terus-menerus menaikkan angka kelulusan, dari 4,5 (2007) menjadi 5,00 (2008). Sementara, angka kerusakan gedung sekolah, merosotnya jumlah guru bermutu, dan rendahnya sarana pendidikan di sekolah tidak pernah dihiraukan. Ada ketimpangan antara capaian kuantitatif dengan kualitatif.
Kondisi yang demikian, jika dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan terjadinya rekayasa pelulusan secara nasional siswa SMA/SMK/MA. Itu dilakukan demi mendongkrak jumlah indikator angka partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar (APK). Jika itu benar, saya kira akan ada tragedi-tragedi UN yang lain yang muncul di tahun mendatang.
Jujur saja, UN pastilah berkonsekuensi pada prestasi dan prestise. Namun, angka kelulusan yang tinggi sekali pun, harus diikuti dengan pertanyaan tentang bagaimana mencapai angka itu. Di satu sisi, kita tak menampik keabsahan UN sebagai pendongkrak mutu, tapi di lain sisi, kita semestinya sadar bahwa kebijakan UN harus dijalankan dengan logika yang sehat. Dalam arti, hasil UN yang ada bukan diperoleh dari cara-cara yang curang.
Sekadar catatan, jika pemerintah menjalankan UN hanya demi ambisi ingin sejajar dengan Malaysia dan Singapura, maka UN bukanlah kebijakan yang tepat. Pasalnya, di kedua negara tersebut pemenuhan standar pendidikannya sudah sangat jauh berbeda daripada kita. Mereka telah memiliki program wajib belajar dari SD-SMA, dan gratis. Sementara kita barulah memiliki program wajib belajar dari SD-SMP, dan kualitasnya pun dipertanyakan.
Karena itu, jika pemerintah ingin mengukur mutu pendidikan, maka jangan buru-buru memakai UN sebagai instrumennya. Langkah pertama sekaligus utama ialah penuhi dulu semua standar pendidikan nasional, termasuk guru dan fasilitas pendukung pembelajaran. Setelah terpenuhi, barulah pemerintah melaksanakan ujian berskala nasional. Yang penting, pemerintah harus menunjukkan komitmen pendidikannya terlebih dulu, barulah UN dilaksanakan.
Kedua, hadirnya UN memunculkan disorientasi belajar siswa. Berdasarkan pengalaman UN tahun-tahun sebelumnya, sejumlah guru menilai, motivasi belajar pada siswa lebih karena ingin lulus, tidak lebih. Siswa cenderung berlatih mengerjakan soal ketimbang paham akan substansi materi pelajaran. Bagaimana mungkin siswa bisa cerdas kalau dia hanya diarahkan untuk terampil menjawab soal-soal UN tahun sebelumnya. Pola belajar yang aneh bukan?
Apa mau dikata, Mendiknas justru berkata sebaliknya. Ia mengatakan, UN dapat memacu kerja keras siswa. Mungkin klaim tersebut muncul karena dirinya melihat UN memiliki fungsi pendorong siswa untuk belajar. Tapi, jika mau dikaji secara dalam, UN belum layak diselenggarakan. Jangankan bicara mutu pendidikan, soal kebermanfaatan UN, terutama pada pembentukan nalar, logika, serta kreativitas siswa pun, tidak nyambung.
Padahal, ketiga hal tersebut sangat dibutuhkan untuk belajar di perguruan tinggi (PT). Tanpa itu, para siswa jagoan UN hanya menjadi mahasiswa bodoh. Pendek kata, UN dianggap belum mapan karena setiap tahun standar nilai minimal berubah, serta terjadi kecurangan yang membuat hasil UN belum obyektif. Apa jadinya bangsa ini dipimpin generasi yang tak bermoral, tapi pintar menjawab soal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar