UJIAN Nasional (UN) telah di ambang mata. Ia hadir saban tahun sekali
guna mengukur kemampuan siswa di tiap-tiap level. Pada 16-19 April 2012
UN tingkat SMA/SMK/MA akan digelar, berikutnya pada 23-26 April 2012 UN
tingkat SMP/MTs akan digelar. Di balik pelaksanaannya itu, sejatinya
tersimpan tanda tanya besar. Layakkah UN dijadikan sebagai alat evaluasi
di tengah disparitas pendidikan di tanah air yang kian menganga?
Para pengamat pendidikan menilai, UN layak ditinjau ulang.
Alasannya, karena pelaksanaan UN adalah kebijakan yang ambisius. Sebab,
kondisi sekolah antarwilayah di Indonesia jauh berbeda. Jangankan
antarwilayah, antarkecamatan di satu kabupaten saja bisa jadi memiliki
perbedaan dalam hal sarana/prasarana dan mutu guru.
Pemerintah
selalu menyatakan bahwa UN digelar demi peningkatan kualitas pendidikan
di daerah yang bersangkutan. Namun, begitu hasil UN diumumkan, tak ada
lagi komitmen dalam meningkatkan kualitas pendidikan di daerah. Jadi, UN
hanyalah kebijakan all size yang sejatinya bersifat masal, dan justru
membawa suasana teror bagi siswa, guru, dan orang tua siswa. Terlebih,
bila ditengarai adanya aksi-aksi kecurangan dari oknum siswa dan guru.
Mengutip
Wahid (2008), adalah tidak mungkin bila pemerintah mengharapkan hasil
seragam dari sesuatu yang bersifat majemuk. Apa pasal? Sebab, kondisi
sarana dan prasarana sekolah, serta mutu guru berbeda-beda. Selain itu,
hadirnya UN justru merepotkan siswa dan terutama guru—pihak yang
bertanggung jawab atas kelulusan siswanya. Dengan demikian, wajar jika
banyak pihak menuntut agar UN ditinjau ulang dengan alasan berikut.
Pertama,
UN merupakan produk kebijakan yang bersifat super-kuantitatif. Artinya,
pemerintah hanya berorientasi pada angka kelulusan saja. Buktinya,
pemerintah terus-menerus menaikkan angka kelulusan, dari 4,5 (2007)
menjadi 5,00 (2008). Sementara, angka kerusakan gedung sekolah,
merosotnya jumlah guru bermutu, dan rendahnya sarana pendidikan di
sekolah tidak pernah dihiraukan. Ada ketimpangan antara capaian
kuantitatif dengan kualitatif.
Kondisi yang demikian, jika dibiarkan
berlarut-larut akan menimbulkan terjadinya rekayasa pelulusan secara
nasional siswa SMA/SMK/MA. Itu dilakukan demi mendongkrak jumlah
indikator angka partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar
(APK). Jika itu benar, saya kira akan ada tragedi-tragedi UN yang lain
yang muncul di tahun mendatang.
Jujur saja, UN pastilah
berkonsekuensi pada prestasi dan prestise. Namun, angka kelulusan yang
tinggi sekali pun, harus diikuti dengan pertanyaan tentang bagaimana
mencapai angka itu. Di satu sisi, kita tak menampik keabsahan UN sebagai
pendongkrak mutu, tapi di lain sisi, kita semestinya sadar bahwa
kebijakan UN harus dijalankan dengan logika yang sehat. Dalam arti,
hasil UN yang ada bukan diperoleh dari cara-cara yang curang.
Sekadar
catatan, jika pemerintah menjalankan UN hanya demi ambisi ingin sejajar
dengan Malaysia dan Singapura, maka UN bukanlah kebijakan yang tepat.
Pasalnya, di kedua negara tersebut pemenuhan standar pendidikannya sudah
sangat jauh berbeda daripada kita. Mereka telah memiliki program wajib
belajar dari SD-SMA, dan gratis. Sementara kita barulah memiliki program
wajib belajar dari SD-SMP, dan kualitasnya pun dipertanyakan.
Karena
itu, jika pemerintah ingin mengukur mutu pendidikan, maka jangan
buru-buru memakai UN sebagai instrumennya. Langkah pertama sekaligus
utama ialah penuhi dulu semua standar pendidikan nasional, termasuk guru
dan fasilitas pendukung pembelajaran. Setelah terpenuhi, barulah
pemerintah melaksanakan ujian berskala nasional. Yang penting,
pemerintah harus menunjukkan komitmen pendidikannya terlebih dulu,
barulah UN dilaksanakan.
Kedua, hadirnya UN memunculkan disorientasi
belajar siswa. Berdasarkan pengalaman UN tahun-tahun sebelumnya,
sejumlah guru menilai, motivasi belajar pada siswa lebih karena ingin
lulus, tidak lebih. Siswa cenderung berlatih mengerjakan soal ketimbang
paham akan substansi materi pelajaran. Bagaimana mungkin siswa bisa
cerdas kalau dia hanya diarahkan untuk terampil menjawab soal-soal UN
tahun sebelumnya. Pola belajar yang aneh bukan?
Apa mau dikata,
Mendiknas justru berkata sebaliknya. Ia mengatakan, UN dapat memacu
kerja keras siswa. Mungkin klaim tersebut muncul karena dirinya melihat
UN memiliki fungsi pendorong siswa untuk belajar. Tapi, jika mau dikaji
secara dalam, UN belum layak diselenggarakan. Jangankan bicara mutu
pendidikan, soal kebermanfaatan UN, terutama pada pembentukan nalar,
logika, serta kreativitas siswa pun, tidak nyambung.
Padahal, ketiga
hal tersebut sangat dibutuhkan untuk belajar di perguruan tinggi (PT).
Tanpa itu, para siswa jagoan UN hanya menjadi mahasiswa bodoh. Pendek
kata, UN dianggap belum mapan karena setiap tahun standar nilai minimal
berubah, serta terjadi kecurangan yang membuat hasil UN belum obyektif.
Apa jadinya bangsa ini dipimpin generasi yang tak bermoral, tapi pintar
menjawab soal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar